Selasa, 24 April 2012

Tujuh : Kacamata

Harumnya udara di pagi hari, sejuk dan cerah, membuatku ingin terus bergelayutan di tempat tidur. Tapi aku bisa dimarahi jika hanya berguling-guling dan tak bekerja. Akhirnya aku bangun dan mengumpulkan nyawa di balkon. Ku hirup udara segar itu, "Hmm, semoga saja aku bisa merasakan hal ini setiap hari."


Setelah mengumpulkan nyawa, aku kembali ke kamar. Kutanggalkan satu per satu baju yang melekat di tubuhku. Lalu kunyalakan shower, bersenandung sambil berandai-andai apa yang akan terjadi hari ini.
Aku baru ingat kalau mataku sudah agak rabun akibat pekerjaanku yang mengharuskanku selalu menatap monitor hingga menangis, jadi kuputuskan hari ini aku akan ke optik.
---
Aku terpaksa menyetir sendiri, tak ada yang mau ku ajak pergi, teman-temanku sedang sibuk kuliah. Namun sendiri juga tak masalah. Dan feeling-ku pun berkata untuk pergi sendiri saja.
Aku fokus menyetir walau telepon genggamku berdering. Nanti saja, lah, pikirku. Aku hentikan mobilku di sebuah restoran. Aku baru ingat kalau aku belum makan.
Yang kupesan hanya spageti dan jus jeruk. "Optik pasti masih sepi karyawan, aku duduk sja di sini sebentar lagi." Ku ambil telepon genggamku, ada telepon entah dari siapa tadi di mobil. Aku tak mengenali nomornya.
Setelah aku selesai makan dan membayar bill, aku berpikir untuk jalan kaki menuju optik karena dekat dengan restoran. Dalam waktu singkat, aku sudah berada di depan Optik Melawai, aku mencari-cari frame yang bagus untuk kacamataku.
Tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku sedang duduk di kursi dan di atas meja ada cermin. Aku putar cermin itu ke arah kiri dan aku tersentak saat melihat bayangan dari cermin. Seorang pria tegap, putih, agak mancung, dan aku mengenali sosoknya. Mungkin dia juga mau membeli kacamata, tapi siapa wanita yang digandengnya?
Aku tak ingin terlihat olehnya, tapi dia datang dan duduk di sebelahku, lalu menoleh ke arahku dan dia mengenali aku. Oh Tuhan, masih sajakah kau ingin aku bersedih?
"Eh, kamu Vera 'kan ya?"
"Err.. Iya. Kamu siapa ya?" Aku pura-pura lupa supaya aman. Namun rupanya suasana hatiku yang tidak aman.
"Lupa ya? Aku Eka. Lama ya nggak ketemu. Kok sendirian aja Ver? Oh iya, kenalin ini istri aku. 
Istri? Aku hanya bisa terdiam, kaget setengah mati. Ini apa maksudnya? Aku masih terdiam dan tak mampu berucap.
"Nia," istrinya mengulurkan tangannya, aku menjabat tangannya dan hanya tersenyum simpul. 
Eka, sosok yang aku benci, benci karena dia melupakanku begitu saja dulu, melepaskan aku dan mengatakan bosan dengan diriku yang terlalu sibuk belajar dan tak terlalu memperhatikannya, sosok yang aku cintai dulu, karena sikapnya yang ramah, lucu, dan selalu memanjakanku.
Lalu aku melihat telepon genggam dan menyudahi pertemuan kamu.
"Ehm, udah dulu ya, aku buru-buru, dipanggil bos nih," sambil menunjuk telepon genggamku.
"Oke, kapan-kapan ngobrol lagi, yah? Rumahmu masih yang dulu 'kan?"
"Iya, masih. Udah ya, bye."
Buru-buru aku keluar dari optik dan kembali ke tempat parkir. Aku tak langsung tancap gas, entah kenapa aku ini lemas rasanya. Wajahku memerah dan nafasku sesak, aku sesenggukan dan setir mobilku basah jadinya. Aku tak mau menyetir dengan keadaan seperti ini. Lalu aku masuk lagi ke dalam restoran dan memesan segelas kopi untuk menenangkan diri.

1 komentar:

  1. salam gan ...
    menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
    di tunggu kunjungan balik.nya gan !

    BalasHapus